Happy SATU WINDU Anniversary pernikahan, Khalida!
Ya, 03 Januari 2023 ini, usia pernikahan kami genap 1 windu. Waktu yang masih sangat pendek dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Selama itu, apakah rumah tangga kami baik-baik saja? Anggaplah begitu.
Konon katanya, pada lima tahun pertama usia pernikahan, adalah masa di mana ujian rumah tangga masih terasa sangat berat, karena proses penyesuain kedua belah pihak. Kemudian akan berangsur membaik dan ringan di lima tahun kedua. Mungkin itu benar, mungkin juga tidak. Saya merasakan, rumah tangga kami adem ayem sebelum kami salah mengambil keputusan, pulang ke orang tua.
Flashback
Kami menikah di Kramat Jati - Jakarta Timur, pada 03 Januari 2015. Di satu tahun pertama saya masih bekerja sebagai staff admin dan keuangan di suatu kantor di daerah Kramat Jati - Jakarta Timur. Sementara suami, yang awalnya memiliki kios kuliner di Jakarta Selatan, terpaksa tutup karena suatu hal. Alhasil ia menganggur di satu tahun pertama itu.
Tidak lama kemudian, tempat saya bekerja mengalami masalah, sehingga terpaksa tutup juga. Saya dan suami memutuskan bergabung dengan salah seorang kenalan saya untuk melanjutkan bisnis kuliner di daerah Cikarang, Bekasi - Jawa Barat. Alhamdulillah Soto Lamongan kami saat itu lumayan laris, sehingga perekonomian kami tetap aman. Banyak pelanggan tetap yang datang setiap hari hanya untuk makan soto buatan kami (buatan suami sih tepatnya, saya hanya bantu-bantu). Sayangnya lagi-lagi kami harus tutup, karena ruko diminta oleh pemiliknya.
Kami mencari tempat baru. Dengan menambahkan satu menu lagi. Yaitu sego pecel Madiun. Alhamdulillah sama larisnya. Sehingga ekonomi kami tidak ada masalah. Setelah dikurangi biaya konsumsi, bayar kios dan kontrakan, plus tabungan untuk anak sulung suami (suami duda punya anak 1), saya masih bisa menabung yang rencananya untuk persiapan lahiran (saat itu saya sedang hamil Anak Sulung kami). Bodohnya, tabungan itu saya lepaskan ketika HPL (Hari Perkiraan Lahir) kurang 3 bulanan. Teman meminjam dan janji akan mengembalikan dalam dua bulan. Nyatanya zonk, bahkan hingga kini anak kami sudah berusia 6 tahun lebih, uang tersebut belum dikembalikan. Huhu…
Untungnya saat itu, sudah ada BPJS yang sangat membantu (jadi ngiklanin BPJS gua. Wakakakak). Saat lahiran uang di tangan kami hanya ada sekitar 75ribuan. Sedangkan Dokter memutuskan agar saya lahiran secara secar. Bisa dibayangkan ya gimana bakal kalang kabutnya jika tanpa BPJS.
Ceritanya, saat usia kandungan baru 7 bulan, Hari Raya Idul Fitri tiba. Kami mudik ke Lampung, karena di Idul Fitri tahun pertama pernikahan, kami sudah mudik ke Surabaya. Sekitar 2 minggu di Lampung kami kembali ke Cikarang untuk melanjutkan bisnis kami, dengan harapan lebih ramai dari sebelumnya. Sayangnya kenyataan tidak sesuai ekspektasi.
Memang masih ada pembeli, termasuk istri penjual bubur ayam seberang kami. Malahan dia menjadi pembeli pertama sejak kami buka lagi saat itu. Saya menganggap itu kemajuan, karena selama satu tahun kami berjualan dan bertetangga, mereka tidak pernah sekalipun membeli dagangan kami. Namun saat itu, beberapa kali dia membeli dagangan kami.
Sayangnya, di kemudian hari, dagangan kami menjadi sepi. Benar-benar sepi. Pembeli paling banyak sehari 10 biji. Kabar yang kami terima, banyak perusahaan yang melakukan PHK besar-besaran, meskipun saya lihat, jalanan depan kami jualan masih sama ramainya seperti sebelumnya. Penjual bubur juga masih ramai pengunjungnya.
Kami tidak paham apa yang terjadi. Beberapa bulan kemudian, seseorang memberitahu, ada yang jahil terhadap usaha kami. Okayh fine. Akhirnya suami memutuskan bekerja di pabrik. Sementara saya di rumah karena memiliki bayi.
Ujian Tetangga Jahil
Sampai detik ini, saya masih belum tahu, apa kesalahan kami dengan si tetangga. Ketika Anak Sulung baru lahir, mereka dengan sengaja menyetel musik sangat kencang, setiap mata terbuka, dari pagi hingga malam. Bahkan pernah hingga jam 2 pagi. Padahal, kami berada di satu atap, berdampingan dengan sekat tembok yang teramat tipis. Orang mengobrol pelan di kamar saja bisa terdengar. Jadi setiap ngobrol penting dengan suami, kami berbisik-bisik. Tetangga menyetel musik dengan volume menghentak sangat keras dan hanya berhenti ketika ada azan. Begitu azan selesai, musik kembali diperdengarkan. Bayi kami menjadi rewel karena tidak bisa tidur.
Kami masih bersabar. Namun, tiba-tiba si tetangga mendiamkan kami tanpa kami ketahui sebabnya. Selalu cemberut dan tidak mau menjawab setiap kali saya tanya. Saya baru menyadari, ketika mengantar kue dia tidak mau menerima. Huhu...
Hari berikutnya, jemuran yang kami pakai ia robohkan. Kami masih berpikir positif, mungkin tidak sengaja. Akhirnya suami memilih menancapkan kembali tiang yang ambruk dengan menyambung beberapa tali. Sayangnya, keesokan harinya, jemuran tersebut gantian tambangnya yang dipotong jadi kecil-kecil, sehingga tidak bisa lagi disambungkan. Sedih, bingung, tapi ya sudahlah, kami terpaksa menjemur pakaian di dalam kostan. Huhu bisa dibayangkan, kostan sepetak yang sempit masih kami gunakan buat jemur pakaian, padahal kami punya bayi yang butuh banyak pakaian, tapi karena menjemur di dalam alhasil pakaian kami tidak kering sempurna. Kadang 3 - 5 hari baru kering. Maklum cucian tangan. Alhasil, rencana awal yang tidak akan memberi anak pospak, akhirnya gagal total karena sering kehabisan popok. Huhu…
Tidak kuat dengan ujian dari tetangga, pada 31 Desember 2017, kami memutuskan pindah kontrakan dekat pabrik suami bekerja di Daerah Jababeka. Alhamdulillah semua tetangga baik, dan peduli. Termasuk pemilik kontrakan.
Memulai Usaha Sekali Lagi
Jika saya perhatikan, sebenarnya pekerjaan suami tergolong enak, karena meskipun di pabrik, ia peroleh job bagian kantornya. Berurusan dengan angka dan komputer. Sayangnya, jiwa pengusaha dan ketidakinginan under preasure membuatnya enggan bekerja di perusahaan orang lain. Ia berkali-kali minta pendapat untuk keluar dan mengajak membangun usaha lagi. Namun saya terus menolak. Puncaknya, pada Maret 2018, suami pun memutuskan keluar dari pabrik, dan kembali berjualan makanan. Awalnya, saya membujuk agar dia mau bertahan hingga akhir tahun saja. Namun, dia sepertinya sudah tidak tahan. Saya pun hanya bisa mendukung kemauannya. Kali ini kami menyewa ruko di depan jalan raya yang lumayan ramai. Sayangnya, sewa ruko yang mahal, persaingan usaha yang sangat ketat, pelayanan kami yang kurang maksimal (anak sulung kami baru berusia 18 bulan), membuat usaha kami tidak berjalan dengan baik. Ditambah, banyak orang yang bilang, pernah melihat pocong di ruko kami. Huhu… seram.
Memutuskan Pulang ke Lampung
Hanya dua bulan bisnis kami bertahan. Suami memutuskan kembali ke pabrik. Ruko kami serahkan ke orang lain, digantikan oleh rumah makan Padang. Kemudian saya bergabung dan menjalani bisnis online Amoorea (produk sabun prawatan kulit).
Hingga di satu malam, suami berkata, "pulang Lampung aja yuk, garap tambak". Awalnya saya hanya menanggapi itu sebagai angin lalu. Dia tidak mungkin serius. Apalagi sejak awal sudah saya tegaskan, bahwa saya tidak mau tinggal dengan mertua, atau orang tua saya. Berhari-hari senyap. Namun ternyata suami serius dengan keinginannya itu. Di kemudian hari, ia kembali mengungkapkan dengan serius keinginannya itu. Kebetulan saya memiliki tambak seluas 3 hektar yang menganggur di Lampung.
Setelah diskusi panjang, hingga berhari-hari, juga meminta pertimbangan keluarga di Lampung, akhirnya saya memutuskan menerima ajakan suami dengan berat hati.
"Mas inget ya, sejak awal aku dah tegaskan. Aku tidak mau pulang ke Lampung, aku tidak betah di sana. Tetapi, karena Mas mau, maka aku ikut. Tapi ingat, ini kemauan Mas ya, bukan kemauanku. Aku hanya mengikuti dan mendukungmu." Tegas saya ketika itu. Saya tidak mau kelak disalahkan jika ada apa-apanya atas keputusan kami. Suami pun sepakat.
Akhirnya 31 Juli 2018, kami pulang ke Lampung.
Kehamilan Tak Terencana Dan Mudik Surabaya
Sebagai orang yang tidak pernah bertani, di Lampung suami mengalami kesulitan beradaptasi, terutama dalam mencari nafkah. Alhasil keuangan kami jeblok hingga di titik nol Rupiah. Kami berjuang dengan berjualan jajanan anak-anak di depan rumah dan TPQ, tetapi sungguh hasilnya sangat melelahkan. Jangankan untung, modal saja sering tidak kembali. Kami tidak bisa langsung menggarap tambak, karena butuhkan modal yang tidak sedikit (suami sudah tahu hal ini) untuk itu. Jadi kami belum bisa memulai.
Dalam kondisi tidak menentu itu, ujian datang menimpa. Kedua orang tua saya mengalami kecelakaan, hingga harus dirawat inap beberapa hari. Saya merasa terpuruk karena kepada merekalah sementara kami bersandar, menumpang hidup, selain kepada Allah. Saya merasa sangat malu, karena bukannya membantu, sebaliknya kami justru menggunakan uang mereka untuk biaya hidup kami. Padahal biaya rumah sakit keduanya habis belasan juta. Sediiih sekali. Dan di saat seperti itu, saya justru terlambat datang bulan! Saya cemas, tetapi harus melawan ketakutan. Saya beranikan diri untuk membeli test pack. Hasilnya? Benar, saya positif hamil anak kedua. Duh, Rabb, berasa runtuh langit di atas kepala saya. Sungguh saya belum siap untuk itu.
Empat bulan di Lampung, kami mendengar adik suami yang berada di Surabaya, akan menikah. Jelas saya sangat bingung. Buat makan saja saat itu tidak punya, apalagi untuk perjalanan PP Lampung - Surabaya bertiga?
Kemudian saya mendengar info lagi, keluarga suami menawarkan 1 tiket untuk suami saja. Entah bagaimana, saat itu, hati saya sungguh terasa terluka. Dalam kondisi saya yang sedang terpuruk, hamil dalam keadaan tak berdaya (2x hamil, saya selalu mengalami mabok yang luar biasa, lemas, sakit kepala tak tertahankan. Alhasil hanya bisa tiduran sepanjang hari), suami malah bermaksud menerima tawaran "mudik sendirian ke Surabaya", meninggalkan saya yang tak berdaya, dengan anak yang super aktif butuh perhatian 24 jam. Sakiiit taktertahankan. Saya merasa bukan siapa-siapa bagi mereka. Saya bukan bagian dari keluarga mereka (bumil mah bebas yak). Rasanya ingin menghilang dari bumi, membawa anak sulung kami yang saat itu berusia 20an bulan. Duh mellow. Dimaklumin yak, orang hamil emang suka ngelantur ke mana-mana perasaannya.
Melihat saya keberatan, suami berusaha mencari pinjaman uang, dan menagih di beberapa kenalan yang memiliki hutang ke kami. Hasilnya zonk. Terpaksa saya lagi yang cari pinjaman. Padahal hutang untuk usaha di Cikarang, yang kami tinggalkan masih sangat besar.
Dengan bekal pinjaman uang 2 juta. Kami memutuskan untuk pulang ke Surabaya menghadiri pernikahan adik suami. Saat kami menginfokan harga tiket bertiga, ternyata keluarga suami langsung melunasinya. Huhu… Rasa sakit di hati saya sedikit berkurang (type pendendam).
Akhirnya, 08 November 2018, kami terbang ke Surabaya atas tiket dari keluarga suami. Alhamdulillah uang 2 juta yang saya pinjam aman, sehingga bisa digunakan untuk kebutuhan perjalanan lainnya, plus untuk kebutuhan di Surabaya selama beberapa Minggu, juga ongkos wira-wiri mengurus KTP.
Memutuskan Tinggal di Surabaya
Acara pernikahan adiknya kelar, suami memutuskan tetap tinggal di Surabaya. Tentu saja saya hanya bisa pasrah ikut bersamanya. Mengurus surat-surat ke Dispenduk yang jaraknya lumayan jauh dari rumah Ibu Mertua. Saat itu status kami sebagai warga ilegal, karena KTP kami sudah tidak berlaku di mana-mana. Kami sempat akan mengurus perpindahan ke Jakarta, tetapi batal karena tidak segera diurus sampai surat dari kampung masing-masing kadaluarsa. Sejak itu, kami tinggal menumpang di rumah Ibu Mertua.
Ujian Yang Sesungguhnya
Sepanjang hidup bersama orang tua, sejak kecil hingga dewasa, saya tidak pernah sekalipun melihat mereka bertengkar atau saling mendiamkan, seperti umumnya rumah tangga. Sama sekali tidak pernah. Kedua orang tua kami sangat akur. Mereka selalu sholat berjamaah wajib maupun sunnah.
Setelah dewasa, saya melihat ada pelajaran bagus pada kerukunan mereka. Diam-diam hati kecil saya menginginkan rumah tangga seperti itu. Selalu sholat berjamaah, dan tidak pernah ada pertengkaran.
Lantas, apakah keinginan saya tercapai dalam kurun waktu 8 tahun menjalani kebersamaan kami?
Tidack, Kawan-kawan!
Pada awalnya kami memang tidak pernah bertengkar, selama 7 tahun pernikahan. Namun di tahun ke 8, tepatnya di tahun 2022 lalu, emosi yang bertumpuk di dalam jiwa saya seperti menuntut untuk diledakkan. Faktor external yang membuat saya lelah. Juga pertahanan diri yang sebenarnya menyimpan bom waktu yang terus dipupuk. Rabb, jaga kami, jaga rumah tangga kami.
Saya sempat merasa lelah, tetapi tak ingin menyerah. Sempat putus asa dan menginginkan kematian anak-anak, agar memudahkan saya untuk meninggalkan semua yang ada di sini. Duh, Ampuni hamba yang kurang bersyukur atas semua nikmat-Mu, Rabb. Ampuni hamba…
Kado Satu Windu Pernikahan
Lalu, di sini kami. Di tahun ke 8 pernikahan kami, akhirnya suami mau saya ajak melipir sejenak. Mencari tempat tinggal baru, suasana baru. Anggaplah ini sebuah kado pernikahan. Sebuah hunian baru yang kami kontrak bulanan di daerah tetangga.
Lantas apakah saya puas dan bahagia? Ya, seharusnya. Saya menginginkan tempat tinggal tanpa menumpang sejak lama. Sejak awal kami berada di Surabaya. Bukan kah dalam satu kerajaan tidak boleh ada dua ratu?
Saya meminta suami pindah sejak awal kami berada di Surabaya. Itu karena saya sadar, bagaimana diri saya, emosi saya. Sejak dulu saya tidak mau tinggal dengan orang lain kecuali orang terdekat saya yang sudah sama-sama paham dan bisa memaklumi karakter masing-masing.
Saya sangat sadar jiwa rapuh saya, sekaligus sisi kerasnya. Sejujurnya saya adalah pemberontak. Sebab itulah hampir setiap hari, sepanjang bulan dan tahun, selama 4 tahun, saya tidak berhenti merengek kepada suami untuk mencari tempat tinggal sendiri. Bukankah mengontrak jauh lebih enak ketimbang hidup menumpang?
Bagi saya sih, YES!
***
Rabb, lindungi rumah tangga kami.
Lindungi kebersamaan dan kebahagiaan kami.
Langgengkan rumah tangga kami dalam kebahagiaan.
Lindungi anak-anak kami, dan bahagiakan mereka dunia akhirat.
Berkahi kami, Rabb… berkahi rumah tangga kami. Ridhoi kami…
Gresik, Senin, 02 Januari 2023 (23:32)
Satu windu pernikahan. Semoga bahagia selalu ya. sehat. Rezeki lancar. Berkah.
ReplyDeleteMasya Allah. Saya senang membaca kisah rumah tangga orang2 yg terbilang lama. Biasanya ujiannya memang luar biasa. Moga Allah tunjukkan langkah yg terbaik untuk Mba Ida & keluarga ya.
ReplyDeleteMasyaAllah.. sewindu itu memang seperti roller coaster ya Mbak. I feel you!
ReplyDeletesaya pun juga merasa di 5 tahun pertama sih baik-baik saja, namun di 5 tahun berikutnya ini seperti naik roller coaster, saya baru mau masuk 9 tahun di Januari ini. Tapi harus sabar, harus tegar, tangguh menghadapinya demi anak-anak dan demi ridho dari Allah kan :)
semangat Mbak, moga langgeng selalu ya, sakinah mawaddah until jannah.. Aamiin :)
Happy wedding anniversary, Kak Ida. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rumah tangga kalian dengan keberkahan-Nya!
ReplyDeleteSetiap rumah tangga punya ujiannya masing-masing ya mba. Plus minus hidup sendiri atau sama orang tua. Mudah-mudahan di kado 1 windu pernikahannya mendapatkan yang terbaik ya mba aamiin
ReplyDeleteSemoga pernikahannya terus diberkahi ya, Mbak. Pasti gak mudah, tapi yakin kalian bisa melewati ujian ini
ReplyDeleteWah selamat ya mbak Ida sudah satu windu perkawinan semoga samawa till jannah sukse dan bahagia selalu bersama keluarga
ReplyDeleteselamat sewindu pernikahan yaa, Mba Ida. Setiap rumah tangga memang punya ujian masing-masing yaa. Semoga rumah tangga kita semua bisa tetap memberikan kebahagiaan bagi kita, pasangan dan anak-anak, amiin
ReplyDeletebegitu panjang dan berat usaha mempertahankan pernikahan ya. Didoakan semoga langgeng dan pintu pintu rezeki barokah akan terbuka buat keluarganya sehingga bisa samawa bahagia tanpa kekurangan
ReplyDeleteIya betul lebih baik kontrak rumah sendiri walau kecil tapi kita mandiri dan yg terpenting bisa merdeka.
ReplyDeleteSelamat ulang tahun pernikahan ya mbak
ReplyDeleteSemoga samawa dan selalu diberi keberkahan
Sehat-sehat dan berbahagia selalu ya kak Ida sekeluarga.
ReplyDeletePengalaman kak Ida ini jadi inspirasi dan pembelajaran bagi siapa saja dalam memaknai ujian hidup.
Semangat..
Barakallah mbak telah melewati 1 windu bahtera pernikahan, semoga Allah karunia sakinah mawadah wa rahmah. Konon hal penting dalam menjalin hubungan itu komunikasi yang baik, hanya saja memang kita perlu terus menerus belajar bagaimana mencurahkan pendapat atau keinginan kita pada pasangan ya, ini kalau menurut saya yang paling susah sekali dibandingkan kita menyampaikannya kepada orang lain. Kalau semua terus disimpen, suatu saat bakalan meledak kayak bom waktu pada saat tertentu ketika ketrigger sesuatu hal sepele sekali pun, bener gak mbak Ida hehe. Btw barakallah yaa.
ReplyDeleteHappy milad pernikahan mba, semoga jadi keluarga sakinah, mawadah dan warahmah. Bahagia selalu
ReplyDelete