Setelah sebelumnya saya menulis tentang tips mudik hemat, kali ini saya akan menulis tentang suka dukanya, mudik jauh dengan dua balita. Yang satu tidak benar-benar balita sih karena usianya sudah lima tahun. Mungkin tepatnya dengan dua anak ya. Hahahaha…
Seperti yang sudah sering saya sebutkan berulang di beberapa postingan sebelumnya. Kami sudah empat tahun, dan baru bisa mudik baru-baru ini. Alhamdulillah.
Tragedi Koper - Antara Sungkan Dan Tidak Patuh
Sebenarnya mudik kemarin itu kami diberi banyak kemudahan, meskipun pada awalnya sempat dibuat cemas oleh koper bawaan kami.
Ceritanya, kami tidak memiliki koper saat rencana mudik menjenguk orang tua saya di Lampung. Namun Ibu mertua punya. Tepatnya milik adik ipar yang sudah tidak dipakai. Kami ditawari itu. Lumayanlah bisa menghemat budget untuk pembelian koper yang pastinya, harganya bisa di atas 300 ribu. Ye kan?
Mulailah kami packing dengan koper tersebut, dengan mamasukkan satu stell saja pakaian saya, dan satu stell untuk suami, karena pakaian anak-anak harus banyak. Dengan pertimbangan, suami dan saya masih memiliki banyak pakaian di Lampung. Sementara anak-anak tidak ada sama sekali. Jadi harus bawa banyak untuk mereka. Pertimbangannya, karena biasanya dalam kesehariannya, anak-anak sangat sering berganti pakaian, jadi harus disediakan banyak. Intinya untuk berjaga-jaga
Di hari yang ditentukan, saat kami keluar rumah pada jam setengah sepuluh pagi pada 02 Juni 2022, ketika suami mengangkat koper dari dalam rumah dan membawanya ke jalan, tiba-tiba, pletak, koper patah bagian atas.
Waduh!
"Tidak apa-apa, cuma bagian atas sedikit," kata suami.
Kami melanjutkan perjalanan hingga ke rumah Mbak Ipar, karena akan diantar ke stasiun oleh Mas Ipar.
Di rumah Mbak Ipar, bumer menawari suami untuk berganti koper milik Mbak Ipar. Namun suami menolak dengan alasan, malas bongkar-bongkar lagi. Apalagi waktunya juga khawatir macet di jalanan dan terburu-buru. Saya dengar bumer sampai beberapa kali menyuruh mengganti koper.
"Gak papa, cuma pecah sedikit." Kata suami. Okeyh, kami lanjut perjalanan. Berangkat dari rumah Mbak Ipar pada pukul 10:02, dan sampainya di stasiun Pasar Turi, sebelum jam sebelas. Alhamdulillah tidak bertemu dengan kemacetan, meskipun itu adalah hari kerja. Mungkin karena sudah agak siangan. Bukan lagi jamnya orang berangkat atau pulang kerja.
Tragedi Koper Berulang
Sampai di stasiun Pasar Turi, kasus koper pecah masih berlanjut. Kali ini yang pecah bagian badan koper, saat diangkat hendak diturunkan dari bagasi.
"Gak papa masih bisa." Kami melanjutkan masuk ke ruang tunggu. Kemudian suami mencetak karcis, sementara kami menunggu di teras. Hanya butuh beberapa menit, suami sudah kembali dengan membawa empat lembar karcis. Cakepnya nih, di karcis sudah otomatis ada keterangan vaksin lho. Seperti di karcis saya yang ada penjelasan "Sudah Vaksin 3", suami 2 (aslinya suami sudah 3x juga, tapi entah bagaimana datanya tidak masuk).
Selesai dengan urusan cetak karcis, kami langsung masuk ke ruang tunggu dan mencari tempat duduk. Saat itulah, koper lagi-lagi mengalami masalah. Kali ini penopang rodanya yang hancur, sehingga roda koper terlepas dari tempatnya. Alhasil suami harus mengangkatnya di pundak. Apesnya lagi, ketika hendak diturunkan saat check in, lagi-lagi koper berontak, dan mengalami pecah di bagian lainnya, hingga membuat penjaga pintu kedua (peron), ikut terkejut dan berniat membantu.
"Tidak apa-apa." Saya masih santai. Sambil mengingatkan suami agar hati-hati saat membawanya.
Tragedi Koper Masih Berlanjut
Setelah check in, kami masih harus menunggu kereta yang belum datang. Tepat dengan suara adzan zuhur yang terdengar. Saya langsung menuju mushola, sementara suami menunggui anak-anak yang minta bermain di tempat khusus bermain anak, di area ruang tunggu. Alhamdulillah saya yang awalnya sedikit was-was bakal sholat di kereta, akhirnya bisa menjamak sholat dzuhur dan ashar di mushola stasiun Pasar Turi.
Sekitar pukul 12:15, kereta tujuan Stasiun Pasar Senen, sudah datang. Setelah selesai bergilir sholat dengan suami, kami langsung menuju gerbong, di mana kursi kami berada. Saat itulah, sekali lagi koper kami mengalami kehancuran ketika diletakkan di rak gerbong kereta. Bagian bodynya lagi-lagi ada yang jatuh, dan meninggalkan bolong di sana. Mulai ngenesh doonk.
Ide Mengganti Koper Dengan Kresek Sampah
Pukul 12:30, kereta kami mulai bergerak meninggalkan Stasiun Pasar Turi. Ahya, di sini kami baru ngeh, kalo ternyata kami salah memilih kursi. Awalnya kami memilih kursi dengan nomor 14 dan 15, dengan harapan akan saling berhadapan. Ternyata kami salah. Yang berhadapan adalah 14 dengan 13, sementara 15 dengan 16. Alhasil kami duduk dengan saling membelakangi. Huhu… pelajaran, Gaes.
Kereta semakin jauh meninggalkan wilayah Surabaya. Niat awal, tidak akan membuka ponsel, karena khawatir banyak menunduk dan menimbulkan mual dan pusing. Namun kemudian, saya merasa ingin membagi cerita dengan teman-teman di grup curhat kami.
"Hai, Gaes, omong-omong koperku mengerikan, neh." Aku memulai.
"Kenapa gitu?"
"Pecah di mana-mana."
"Kok bisa?"
"Iyah. Aslinya sejak mau berangkat Bumer dah nyuruh ganti, tapi kami pikir, itu tidak akan separah ini, jadi gak kami ganti."
"Itulah gak mau nurut ama orang tua. Makanya nurut sama Bumer."
"Iyah, hehe…"
"Jadi gimana?"
"Belum tau deh ini. Barusan suami tiba-tiba bilang sih, katanya minta dibeliin koper sama Mas Ipar. Mas Ipar, mau jemput di Stasiun Pasar Senen."
"Malam begini, mau beli di mana Mas Iparmu?"
"Entah. Soalnya beneran udah gak bisa buat bawa ini, bakal remuk. Aku malah baru kepikiran, sekarang iya suamiku bisa bawa pelan-pelan, hati-hati, lha nanti di bandara apa iya petugas bandara bakal pelan-pelan bawanya? Bisa-bisa ambyar pakaian kami."
"Bhuakakakak."
"Diwrapping aja nanti di bandara, Mbak."
"Kayaknya sih udah gak bisa juga ini, parah soalnya."
"Double wrapping aja."
"Atau wrap sendiri, nanti kalo dah sampai di Jakarta. Beli wrapping transparant itu di Alfa atau Indo Maret."
"Hah? Kami sampe Jakarta jam setengah satu, masih ada gitu Indo dan Alfamart yang buka?"
"Iya juga. Gimana kalo beli kresek sampah itu, masukin semua pakaian di situ."
"Bhuwakakakak… Mbaaak, kami mudik 4 taon sekali, jauh-jauh dari Surabaya ke Lampung, masak iya sih pakaian dibawa dengan kresek sampah?"
"Wakakakaka…"
"Wakakakakak…"
"Wakakakakak."
And so on, ketawa ngakak dan icon guling-guling pada keluar dari beberapa member grup yang masih terjaga. Berbagai ide keluar, dari yang kresek sampah hingga tas tote bekas sembako.
Di sela-sela chat dengan teman-teman di grup, saya juga diskusi dengan suami. Ide teman-teman dengan tas tote bekas sembako dan plastik sampah saya sampaikan. Yang intinya, saya tidak ingin merepotkan Mas Ipar untuk mencarikan koper.
Tidak lama kemudian, Mas Ipar benar-benar mengirimi gambar koper berwarna merah. Masya Allah. Antara malu dan haru. Dalam hati saya meringis, "Kapan yaa Rabb kami tidak lagi merepotkan keluarga. Kapan giliran kami bisa bermanfaat dan membantu mereka?"
Pukul 00:30, kami sampai di Stasiun Pasar Senen. Saat itu, Mas Ipar sudah ada di sana, karena begitu kami keluar, beliau sudah langsung terlihat.
Usai saling berkabar, suami langsung mengganti koper. Kemudian bergilir sholat isya. Setelah itu langsung meluncur ke Bandara dengan mengendarai mobil Mas Ipar.
Makan Malam Di Bandara
Sampai Bandara kami sudah lapar lagi. Hanya ada satu restoran yang masih buka. Akhirnya kami makan di sana.
Saya makan nasi dengan lauk terong sambal hijau, suami makan nasi soto Betawi. Sedangkan anak-anak minta pop mie (satu buat berdua). Total semua Rp. 104.000. Lumayan jauh jika dibanding harga di luar tentunya.
Selesai makan, kami menunggu pagi dengan duduk-duduk di kursi yang tersedia di lobi.
Check In
Seperti yang sudah saya infokan di postingan sebelumnya, tentang Tips Mudik Hemat, penerbangan kami dimajukan satu jam oleh pihak Lion Air. Juga berganti pesawat. Kami yang semula akan naik Lion Air dengan keberangkatan jam 10:00, diganti naik pesawat Jet Air dan dimajukan menjadi jam 09:00. Alhasil kamipun checkin lebih pagi. Alhamdulillah semua berjalan dengan lancar.
Drama Ci Bungsu Lapar
Saat sudah berada di ruang tunggu pesawat, untuk penerbangan ke Lampung, anak bungsu mengeluh lapar. Kami memang sengaja tidak membeli sarapan lebih dulu, karena masih punya banyak camilan. Dan anak-anak juga sudah ngemil terus. Saya pikir, sarapan nanti saja kalau sudah turun di Bandara Radin Inten. Toh perjalanan juga tidak lama, cuma satu jam.
Sayangnya, Nadine tetap protes. Mengeluh lapar sambil mengelus-elus perutnya. Tidak tega, saya coba cari di toko yang ada di ruangan. Sayangnya di sana cuma ada roti, camilan, dan pop mie. Mereka tidak mau itu. Tidak ada pilihan, saya terpaksa keluar lagi dan mencarikan nasi untuknya. Beruntung, di dekat pintu pemeriksaan terakhir, ada restoran. Sayapun membeli satu porsi nasi goreng dengan harga Rp. 49.500. Harga yang lumayan fantastis menurut saya. Namun bisa dimaklumi karena keberadaannya yang di pintu pemeriksaan terakhir di Bandara International Soekarno - Hatta.
Di sini saya sangat gelisah. Pasalnya restoran yang ramai membuat saya menunggu lumayan lama, sedangkan dari pengeras suara sudah terdengar panggilan untuk penumpang Jet Air jurusan Lampung agar segera memasuki pesawat.
Keluar dari Restoran, saya berniat berlari, melalui pintu samping, sesuai arahan petugas ketika saya hendak keluar tadi. Sayangnya, salah seorang petugas lainnya menghentikan gerakan saya, dan meminta saya menunjukkan bukti tiket. Sedikit kesal, tetapi saya sadar, ini kelalaian saya sendiri, karena berani keluar di jam genting, dan tidak membawa data diri. Beruntung saya membawa hape, jika tidak, entah bagaimana nasib saya selanjutnya. Sayapun menelepon suami, memintanya mengirimkan bukti. Alhamdulillah langsung diijinkan masuk. Saya berlari sekuat tenaga. Kemudian mendapati para penumpang lainnya sudah bergerak memasuki pesawat. Sementara suami dan anak-anak masih menunggu saya di kursi tunggu sebelumnya.
Pukul 09:00 kami sudah berada di dalam pesawat. Nadine lupa dengan perutnya yang lapar. Hingga pesawat terbang mengangkasa.
Saat itu, langit sangat cerah, sehingga penerbangan yang diperkirakan 50an menit, hanya ditempuh selama 20an menit saja. Alhamdulillah.
Pukul 09:3an kami turun dari pesawat di Bandara Radin Inten II. Setwlah selesai mengambil koper, kami langsung mampir untuk sarapan. Saya makan dengan sebutir telur bulat, dan sayur labu. Suami makan nasi rendang. Sementara anak anak hanya minta es jeruk. Total yang kami keluarkan sekitar Rp. 185.000
Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan dengan mobil Travel Bandara. Berangkat pukul 11:13, dan sampai pada pukul 02:00. Tiga jam perjalanan dengan tarif Rp. 350.000.
Alhamdulillah, proses menjenguk orang tua setelah hampir empat tahun tidak bertemu, akhirnya dilancarkan. Anak bungsu sempet muntah, tetapi tidak seberapa mengganggu karena muntahnya tepat di depan rumah orang tua kami, saat mobil sudah berhenti.
Perjalanan ini adalah suatu kenangan yang indah, karena kami belum tahu lagi kapan bisa berkunjung kembali.
Alhamdulillah, baca blog ini lagi. Keren
ReplyDeleteBuakakakaaak...Ida, tau gak seeyy drama ini terjadi karena apa? number 1: Karena Mas Misua gengsi tuuuh....jd aja ngegondol kresek hihihi...number 2: Sang permaisuri rada-rada sok teu nuker2 nomor t4 duduk segala..jadi aja duduknya beradu punggung...
ReplyDeletebuakakaak... (bunda ikut ngakak.
Alhamdulillah meski ada drama koper dan laparnya Nadine semua terbilang lancar ya. Akhirnya Mbak Ida dan keluarga bisa bertemu dengan orang tua setelah 4 tahun enggak mudik. Sehat selalu semua dan semoga lancar rezekinya
ReplyDeleteYa ampyun kebayang galaunya dengan koper yang akhirnya kudu ditenteng, dan akhirnya tak tertolong sesuatu banget ...sekalinya mudik membuat cerita tak terlupakan
ReplyDeleteBagian yg nunggu nasgor itu jadi ikut deg-degan Mba, wkwkwk. Soalnya aku pernah juga dipanggil-panggil namanya pas di Juanda gara2 sholat magrib dulu. Gak karuan rasanya, maklum first flight ku :D
ReplyDeleteWah aku malah jarang naik pesawat kalau pulkam ke Lampung, soalnya agak jauh dari rumahku di Bandar Lampung. Lebih suka naik damri dari Stasiun Gambir atau ngeteng soalnya rumahku di Tangerang lumayan jauh kalau musti ke Jakarta dulu. Sekarang kapalnya udah enak plus ada dermaga eksekutif jadi lebih cepet ke pelabuhan Bakauheni.
ReplyDeleteWah bisa bayangin repotnya mudik dengan dua balita. Bawa satu balita aja repot apalagi dua... Btw, meski repot pastinya tetap berkesan ya mbak! Repot yang tak akan bikin emak-emak kapok hehe...
ReplyDeleteSeru banget nih, traveling bareng bocil. Mereka akan terus ingat peristiwa ini sampai besar danenjadi kenangan manis
ReplyDeleteAlhamdulillah perjalanan surabaya-lampung lancar ya mbak, walau ada drama koper pecah. jadi pelajaran ya, mesti nurut apa kata ibu
ReplyDeleteHihihi gak nurut sih ya mbak, mengikuti cerita drama kopernay ikut deg-degan aku jadinya.
ReplyDeleteJadi ada kenangan nih mbak mudik dengan dua balita plus koper :) Yang penting ada kenangan indah dalam perjalanan mudik juga kan
Alhamdulillah meskipun ada drama koper pecah akhirnya selamat sampai di tujuan...semoga bisa sering balik ke Lampung ya kak..bisa nengokin keluarga di kampung halaman dalam suasana yang lebih menyenangkan lagi
ReplyDeleteAlhamdulillah ikut tegang bun membacanya, akhirnya bs mudik ya bun...meski banyak drama.
ReplyDeleteKalau gak ada drama perjalanan menjadi kurang seru ya,,
ReplyDeleteAlhamdulillah, kka Ida sudah sampai di rumah orangtua sehingga bisa bersilaturahm kembali berkumpul bersama keluarga besar.
Alhamdulillah, ikut seneng bacanya... Meski sempat ada drama koper dan hampir telat masuk nungguin nasi goreng, tapi semuanya lancar ya...
ReplyDeleteAku ngga ngalamin mudik jarak jauh sih mba. Tapi kebayang gimana hecticnya mudik sama 2 anak kecil. Seru, hahaha ..
ReplyDeleteTegang juga nih baca dilema.koper hahaha.. tapi emang paling nyaman pake kresek sampah sih mbak #ngakak lagi#.
ReplyDeleteSemoga jadi pelajaran berharga.. ðŸ¤
Hahahaha ge kabayang itu rasanya lihat koper protol sedikit demi sedikit. Pasti jadi kenangan tersendiri dan susah dilupakan. Btw keren banget itu ide pakai plastik sampah.. hahaha Lucu
ReplyDelete