Tahu angklung kan Gaes? Gak tau ya kebangetan. Wakakakak.
Sejak tinggal di Surabaya, setiap kali keluar rumah bareng suami, selalu bertemu beberapa grup angklung di pinggir jalan deket lampu merah. Jelas ada juga pengamen. Banyak malah. Mereka sama-sama mencari peruntungan dengan kreativitas masing-masing di tempat tersebut. Rejeki sudah ada yang mengatur, jadi mereka tetap peroleh porsinya masing-masing. Yang paling menarik perhatian saya adalah: banyak pengendara yang mau mengeluarkan lebih untuk memberi kepada mereka yang bermain angklung. Kenapa begitu? Karena selain membuat bahagia yang mendengar, angklung memang memiliki nilai seni yang tinggi! Wajar dong kalo dihargai lebih.
Bicara soal pengamen, dan pengemis, saya mau berbagi cerita nih Gaes. Kita semua tahu ya, di Indonesia tercinta ini pengemis dan pengamen sudah tersebar di seluruh kota-kota. Apalagi di daerah Jakarta, yang saat ini masih menjadi ibu kota Indonesia, *semoga tidak jadi pindah -eh, entah masih bisa dihitung atau tidak jumlah pengemis dan pengamen.yang terkadang sungguh membuat tidak nyaman.
Pernah satu hari saya dan teman kerja sedang melihat-lihat produk di Pasar Tanah Abang. Untuk kesekian kalinya seorang pengamen datang dengan gitar, teman saya memberinya sebuah koin, sedangkan saya yang masih sibuk melihat-lihat memberinya isyarat bahwa saya belum bisa memberi. Apa kata dia, "DASAR KAFIR!" Wow!
Saya terpesonah!
Dan ketika saya berpindah toko untuk melihat yang lainnya, pengamen itu datang lagi. Berbisik di telinga saya, so sweet yak?
Apa yang dia bisikkan?
"Kafiiiiir kafir!"
Yaa Allah, hanya karena recehan 500/1000 rupiah yang diharapkan tidak didapat Gaes, dia sampai segitu marahnya kepada saya. Padahal, saya memang lagi sibuk melihat-lihat barang, tangan saya sedang sibuk memegang belanjaan. Jadi saya pikir dia akan memaklumi jika saya tidak bisa memberinya koin pada saat itu. Toh teman saya sudah memberi. Ternyata tidak. Dia justru menjuluki say sebagai kafir. Naudzubillahimindzaalik.
Di kesempatan lain, ketika keluarga kecil kami pindah ke Cikarang, setiap Minggu pagi ada senam di salah daerah Jababeka. Pengamen jarang saya temui, tetapi pengemis yang kebanyakan adalah ibu-ibu masih banyak. Sebagian bawa anak, sebagian mereka jalan sendiri. Sekali lagi, hanya recehan yang mereka dapat. Yang meskipun recehan, konon katanya dalam sebulan pendapatan mereka bisa mencapai 12 juta Gaes. Keren kan? Tetapi jangan ditiru ya. Hihi.
Ada pula bapak-bapak yang mengetuk pintu, dengan membawa kertas, mengatasnamakan yayasan, tetapi mereka setengah memaksa dengan beraninya mengetuk pintu secara kasar seperti orang hendak menagih hutang. Tidak peduli apakah yang diketuk pintu sedang tidur atau sibuk. Punya uang atau tidak.
Saya sering tidak ikhlas memberi yang model ini. Beda sekali dengan ketika saya memberikannya kepada mereka yang memainkan angklung. Karena mereka bukan sekadar mengamen. Tetapi juga menghibur. Maka tidak heran jika banyak orang yang rela memberikan lembaran dengan nominal lumayan ketika kaleng angklung keliling.
Sekali saya melihat seorang bapak-bapak menaruh Rp. 150.000 untuk grup angklung di yang mangkal di lokasi senam minggu sewaktu masih di Cikarang.
Juga, saya pernah iseng mengintip kaleng para pemain angklung itu, dan benar, banyak sekali uang kertas berwarna hijau, ungu, dan biru. Satu dua warna merah.
Dari situ, lihatlah, betapa kreativitas memiliki nilai yang lebih.
Begitu juga ketika kami sudah berada di Surabaya saat ini. Wajah-wajah bahagia pengendara yang berhenti di lampu merah begitu sumringah ketika memberikan lembaran demi lembaran ke kaleng keliling milik grup angklung di tepi jalan. Jauh sekali dari saat mereka memberi kepada pengamen yang terkadang hanya menggunakan botol bekas atau tepuk tangan.
Bahkan pengendara ada yang dengan senang hati memanggil tukang keliling angklungnya, untuk mendekat, jika kebetulan mereka tidak dihampiri.
Suara angklung itu merdu dan ada aura magis nya..rasanya indah aja dan beda dengan alat musik lain...
ReplyDeleteBetul. Enak pokonya ya didengerin
DeleteSaya dari dulu penasaran memainkan angklung. Tapi sampai sekarang gak bisa. Hehehe. Ulasannya keren mba. Terima kasih sudah berbagi.
ReplyDeleteBelajar pada ahlinya 😁😁😁
DeleteKalau pas nungguin anak yang TK main angklung suka ikut gemes, guru angklungnya hapal banget sama kode tangan masing2 not..seruu emang.
ReplyDeleteBisa denger terus donk Mak klo anaknya main angklung
DeleteWahh memang angklung maha dahsyat pernah mainkan angklung juga amazing apalagi beramai2 ditambahkan dengan alat musik modern keren banget jadinya hasil dari lagu yg dimainkan
ReplyDeleteBetul Mbak. Saya juga syukaa itu.
DeleteKeren banget ini kesenian angklung. Di sekolah anak saya malah ada ekskul nya angklung ini. Padahal kita di Medan lohh,, bukan di Bandung atau daerah Jabar. Mari kita jaga budaya Indonesia
ReplyDeleteKeren ya. Udah sampe kemana mana emang ini angklung.
Deletealhamdulillah, dosa mba Ida berkurang karena ulah pengamen iseng itu hehehe.. Saya juga sering nemuin pengamen angklung nih di stasiun Cawang bawah, mainnya bagus dan niat. Bahkan banyak mobil2 berhenti untuk sekadar menyisihkan rezekinya pada mereka.
ReplyDeleteMereka karena memang bermain dengan hati ya Mbak, jadi hasilnya maksimal.
DeleteDi Jogja tuh juga banyak mom pemain angklung di lampu2 merah atau depan Malioboro. Nah, aku sih lebih suka pengamen yang model gini. Ga maksa tapi menghibur.
ReplyDeleteSaya di Jogja cuma lewaat jadi belum pernah ketemu angklung
DeleteIya, kalau pas nunggu di lampu merah lumayan menghibur dari kebosaan. Tapi saya kadang saya kasih, kadang juga tidak. Tergantung mood sih.. Hihi..
ReplyDeleteSaya juga ngasih gak pernah gede Mbak. Menyesuaikan isi kantong. Hahhaha
DeleteThis comment has been removed by the author.
Delete